Tanggal 23 Maret tiap tahun diperingati sebagai Hari Meteorologi Dunia. Pada tahun 2022 ini, Hari Meteorologi Dunia mengangkat tema “Peringatan Dini dan Aksi Dini serta Informasi Hidrometeorologi dan Iklim untuk Pengurangan Risiko Bencana”. Sebagaimana diketahui bersama, di banyak belahan dunia saat ini semakin sering terjadi bencana, sehingga wajar tema ini diangkat untuk diperbincangkan seraya dicari solusinya. Cuaca dan iklim ekstrim semakin sering terjadi. Kelangkaan air bersih juga semakin meluas. Kejadian tersebut disinyalir akibat dari ulah manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Beberapa penyebabnya adalah pertumbuhan penduduk, urbanisasi, penggundulan hutan, alih guna lahan dan lain sebagainya. Akibatnya, jumlah orang yang terpapar perubahan iklim semakin meningkat setiap tahun.
Badan yang bertanggung jawab untuk informasi cuaca, dalam hal ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), secara spesifik mengungkap temuan terbarunya bahwa prakiraan cuaca dianggap sudah tidak memadai lagi sebagai sumber informasi bagi khalayak. Informasi prakiraan cuaca yang rilis setiap hari saat ini lebih cenderung hanya berupa angka-angka dimana orang awam akan sangat susah memahami angka tersebut. Sebagai contoh, prakiraan suhu besok adalah 30°C. Bagi orang awam, angka tersebut hanya berupa angka, mereka tidak tahu apa dampak dari nilai suhu tersebut. Contoh lain misalnya, prakiraan esok hari suatu tempat adalah hujan ringan. Bagi daerah yang drainasenya bagus, kondisi hujan ringan tidak akan berdampak signifikan. Lain halnya bagi daerah yang memiliki drainase jelek, hujan ringan ini sudah pasti berpotensi menyebabkan banjir. Beranjak dari hal ini, dibutuhkan prakiraan berbasis dampak yang mengandung informasi tentang apa yang mesti dilakukan terhadap kondisi cuaca tersebut. Sistem seperti ini diharapkan akan mengurangi resiko bencana yang akan menimpa masyarakat.
Untuk membangun informasi berbasis dampak tersebut dibutuhkan Kerjasama antar lembaga/badan seperti penyedia layanan data meteorologi dan hidrologi, lembaga penanggulangan bencana, lembaga pembangunan nasional dan sejenisnya. Koordinasi antar lembaga ini merupakan hal krusial untuk membangun pencegahan, kesiapsiagaan dan respon yang lebih baik. Melalui korrdinasi yang lebih intens dan aplikatif, diharapkan informasi yang sampai ke masyarakat lebih mudah dicerna. Apa yang mesti mereka lakukan perlu berbasis informasi yang jelas, komprehensif dan tegas. Masyarakat tidak dipusingkan lagi oleh berbagai macam grafik atau angka-angka statistik. Terlebih, masyarakat ekonomi menengah ke bawah sangat rentan terhadap bencana. Risiko yang mereka hadapi tidak saja dampak fisik dari bencana itu sendiri, melainkan juga berupa kehilangan mata pencarian yang berujung pada tingginya tingkat pengangguran. Informasi yang dibangun harus bisa menyasar masyarakat seperti ini, sehingga pada gilirannya dapat mengurangi dampak dan risiko bencana.
Wabah COVID-19 bisa kita jadikan pelajaran yang sangat berharga. Betapa dunia dibuat porak poranda oleh COVID-19. Wabah ini menampar wajah setiap negara tidak terkecuali Indonesia. Kegagapan menghadapi penyakit yang belum dikenali ini merupakan hasil dari informasi yang parsial. Masing-masing negara mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Jangan dulu kita bicara dunia, kita lihat saja penanganan wabah di dalam negeri. Setiap provinsi memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Terkadang kebijakan tersebut saling bertolak belakang. Sehingga kebijakan yang dibuat membuat masyarakat menjadi bingung. Memberikan informasi untuk masyarakat awam sangatlah tidak mudah. Pandemi ini menjadi pelajaran mahal buat kita. Pandemi ini membuktikan bahwa dunia kita saling terhubung. Kita perlu merangkul lintas batas yang multi-bahaya untuk merancang kemajuan secara menyeluruh dalam aksi iklim, seraya terus mengurangi risiko bencana dan risiko dampak negatif pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain, berangkat dari bencana pandemi ini mau tidak mau kita harus membangun sistem informasi berbasis dampak.
Namun, menuju terwujudnya sistem tersebut, egosentrisme antar lembaga dalam rangka penanggulangan risiko dan bencana mutlak harus dikesampingkan terlebih dahulu. Jangan ada lagi lembaga/badan yang merasa superior dibandingkan lembaga lainnya. Setiap lembaga harus berdiri sama tegak dan duduk sama rendah demi kepentingan masyarakat luas. Yakinlah, sistem informasi berbasis dampak tidak sulit dibangun jika kita sama-sama berangkulan. Sebaliknya, jika masih bermodalkan mental ‘proyek’, mustahil semuanya bisa tercapai. Menjadi siap dan mampu bertindak pada waktu yang tepat dan di tempat yang tepat, diyakini berpotensi menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi mata pencaharian masyarakat di mana pun, baik sekarang maupun di masa depan. Kesimpulannya, adalah urgen merancang sistem informasi hidrometeorologi dan iklim berbasis dampak demi pengurangan risiko bencana, sehingga peringatan dini dan aksi dini terlaksana efektif dan tepat sasaran. (NYS)